Nadine anak pertama saya baru menyelesaikan jenjang Sekolah
Dasar nya di salah satu SD swasta Islam di Tangerang. Bukan bermaksud apa-apa,
anak saya juara kelas sejak dari kelas satu sampai kelas enam walaupun tidak
masuk bimbingan belajar diluar sekolahnya. Walaupun tidak termasuk jenius banyak
prestasi diukir selama SD nya, dia bahkan salah satu dari dua murid yang hafal
juz 30 Al Quran pada kelas 3, dan hapal juz 29 dikelas 5. Katam Al Quran.
Pernah jadi lulusan terbaik pengoperasian Komputer. Pernah dikirim sekolah
untuk seleksi olimpiade Matematika walaupun tidak masuk tahap selanjutnya. Dan sejumlah
prestasi lain. Semuanya dengan otodidak tanpa les dan kursus diluar selain
ngaji privat dan les menggambar saat playgroup.
Oleh karena itu saya optimis dia bakal tidak susah untuk
masuk SMP Negeri. Tapi saat hasil ujian nasional diumumkan betapa kecewanya
saya karena nilai NEM-nya hanya 26.50 (untuk 3 mata pelajaran) nilai NEM tertinggi
di sekolahnya adalah 28 sekian, sementara target untuk masuk SMP 1 Tangerang
minimal harus 28-29. Benar saja akhirnya anak saya tidak masuk di tiga SMPN
yang dipilih dalam seleksi yang hanya didasarkan oleh NEM.
Saya tidak tahu dimana letak kesalahan sistem pendidikan di negara
ini. Adakah ‘missing link’ antara kurikulum di sekolah swasta dengan negeri? Atau
memang prestasi anak saya sendiri yang kebetulan sedang jeblok saat mengikuti
ujian nasional.
Dari beberapa sumber pelaku pendidikan saya dengar cerita
tentang kebocoran soal unas dari kunci
jawaban sampai kisi-kisi soal ujian itu sendiri yang disampaikan kepada siswa
lewat oknum-oknum. Memang tidak semua, tapi coba anda bayangkan apabila semisal
ada orangtua yang mau membeli soal atau kunci demi anaknya bisa masuk sekolah
lanjutan ke sekolah yang lebih murah dan baik (sekolah negeri). Bukan ingin
anaknya menjadi juara atau bernilai bagus tapi demi biaya yang bisa ditekan (baca: murah) dalam jenjang pendidikan kelanjutannya.
Negara tidak salah memakai sistem NEM yang juga bisa disebut
ujian saringan masuk seperti yang dipakai dinegara-negara lain mengingat kursi
sekolah negeri juga sangatlah terbatas, rakyat tidak bersalah jika menginginkan
biaya pendidikan yang murah dengan
berbagai cara, anak-anak lebih tidak berdosa tidak tahu apa-apa. Terus siapa
yang bersalah?
Akhirnya saya mengambil hikmah, saya katakan pada istri
bahwa kita tidak perlu menjadikan anak kita sebagai orang yang pintar,
menjadikan mereka sebagai teknokrat apalagi birokrat. Cukup bagi saya mendidik
mereka menjadi anak-anak yang bisa ngaji, punya akhlak, berkarakter, patuh pada
orang tua, berguna buat bangsa dan sesama.
Ayah bangga sama kamu atas pencapaianmu, Nadine!
Ayah bangga sama kamu atas pencapaianmu, Nadine!
No comments:
Post a Comment