Wednesday, December 04, 2013

Stop Bullying!

Beberapa kali saya temui "penindasan" dalam lingkup pekerjaan saya. Bullying, dalam bentuk makian, umpatan kasar, intimidasi bahkan ancaman, biasanya dilakukan dari yang senior kepada yang junior dalam satu grup. Bahkan mungkin sekali terjadi juga di ruang-ruang kantor.

Mengapa pegawai senior atau atasan harus melakukan bullying (verbal) dan intimidasi? Salah satunya adalah karena kekuasaan (power) dan persepsi ancaman. Dianggap orang lain adalah ancaman pribadi atau posisi di perusahaan, kuatir akan menyamai. Sama sekali pola pikir yang primitif di era ini. Saya tidak menemukan alasan lain dari pelaku kecuali alasan pembinaan. Sungguh-sungguh menyedihkan melakukan pola pembinaan dengan cara-cara semacam itu.

Bullying tidak seharusnya terjadi di industri dan lingkungan kerja, seorang pegawai baru datang menjadi mitra kerja kita untuk saling bahu-membahu menyelesaikan pekerjaan. Harusnya kita dengan senang hati dan tangan terbuka telah mendapat bantuan. Toh kalau dia tidak masuk akan menambah beban buat yang lain. Apabila pegawai baru tersebut tidak lancar dalam mengerjakan tugasnya seyogianya yang berpengalaman memberikan arahan yang sepatutnya. Apabila masih dirasa kurang, bisa dalam bentuk teguran yang elegan demi kemajuan pegawai baru tersebut.

Beberapa tugas pemimpin adalah sebagai fungsi managerial (menyusun rencana, pengendalian operasi, pengarahan, motivator, kontrol dan perbaikan, pengambil keputusan dll). Sudah menjadi tugasnya untuk menjadi penggerak yang baik dan menjadi sumber kreatifitas bagi mitra kerjanya. Sehingga iklim kerja harmonis akan menciptakan sinergi positif. Fungsi pembinaan bisa dilakukan dalam bentuk berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Negara ini telah terpuruk ratusan tahun dalam sistem feodal, penindasan telah mengakar menjadi kultur yang negatif. Penindasan model ini banyak sekali terjadi terutama di berbagai instansi pendidikan dan aparatur bahkan kearah fisik. Dan sampai sekarangpun negara ini masih terpuruk oleh hal-hal seperti itu.
Mari berpikir positif, stop bullying!

4 Desember 2013

Tuesday, July 16, 2013

Ujian Nasional Nadine

Nadine anak pertama saya baru menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar nya di salah satu SD swasta Islam di Tangerang. Bukan bermaksud apa-apa, anak saya juara kelas sejak dari kelas satu sampai kelas enam walaupun tidak masuk bimbingan belajar diluar sekolahnya. Walaupun tidak termasuk jenius banyak prestasi diukir selama SD nya, dia bahkan salah satu dari dua murid yang hafal juz 30 Al Quran pada kelas 3, dan hapal juz 29 dikelas 5. Katam Al Quran. Pernah jadi lulusan terbaik pengoperasian Komputer. Pernah dikirim sekolah untuk seleksi olimpiade Matematika walaupun tidak masuk tahap selanjutnya. Dan sejumlah prestasi lain. Semuanya dengan otodidak tanpa les dan kursus diluar selain ngaji privat dan les menggambar saat playgroup.

Oleh karena itu saya optimis dia bakal tidak susah untuk masuk SMP Negeri. Tapi saat hasil ujian nasional diumumkan betapa kecewanya saya karena nilai NEM-nya hanya 26.50 (untuk 3 mata pelajaran) nilai NEM tertinggi di sekolahnya adalah 28 sekian,  sementara target untuk masuk SMP 1 Tangerang minimal harus 28-29. Benar saja akhirnya anak saya tidak masuk di tiga SMPN yang dipilih dalam seleksi yang hanya didasarkan oleh NEM.

Saya tidak tahu dimana letak kesalahan sistem pendidikan di negara ini. Adakah ‘missing link’ antara kurikulum di sekolah swasta dengan negeri? Atau memang prestasi anak saya sendiri yang kebetulan sedang jeblok saat mengikuti ujian nasional.

Dari beberapa sumber pelaku pendidikan saya dengar cerita tentang kebocoran soal unas  dari kunci jawaban sampai kisi-kisi soal ujian itu sendiri yang disampaikan kepada siswa lewat oknum-oknum. Memang tidak semua, tapi coba anda bayangkan apabila semisal ada orangtua yang mau membeli soal atau kunci demi anaknya bisa masuk sekolah lanjutan ke sekolah yang lebih murah dan baik (sekolah negeri). Bukan ingin anaknya menjadi juara atau bernilai bagus tapi demi biaya yang bisa ditekan (baca: murah) dalam jenjang pendidikan kelanjutannya.

Negara tidak salah memakai sistem NEM yang juga bisa disebut ujian saringan masuk seperti yang dipakai dinegara-negara lain mengingat kursi sekolah negeri juga sangatlah terbatas, rakyat tidak bersalah jika menginginkan biaya  pendidikan yang murah dengan berbagai cara, anak-anak lebih tidak berdosa tidak tahu apa-apa. Terus siapa yang bersalah?


Akhirnya saya mengambil hikmah, saya katakan pada istri bahwa kita tidak perlu menjadikan anak kita sebagai orang yang pintar, menjadikan mereka sebagai teknokrat apalagi birokrat. Cukup bagi saya mendidik mereka menjadi anak-anak yang bisa ngaji, punya akhlak, berkarakter, patuh pada orang tua, berguna buat bangsa dan sesama.
Ayah bangga sama kamu atas pencapaianmu, Nadine!