Friday, March 19, 2010

Kehidupan Berbangsa dan Bertetangga

Kemarin pas akan naik monorail di stasiun Chow Kit, tiga orang polisi diraja negeri jiran melakukan razia KTP. Entah feeling apa hari itu saya membawa fotocopy paspor dan ID card dari hotel tempat saya menginap untuk urusan dinas. Mereka cuman menanyakan kartu pengenal saya –yang saya sodori fotocopy tsb dan ID card-, mereka juga menanyakan maksud dan  tujuan saya. Setelah sesi tanya jawab singkat itu, saya dipersilahkan melanjutkan perjalanan ke Bukit Bintang, tujuan pelesir saya.

Saya teringat beberapa tahun lalu sebuah email forward-an teman-teman yang menceritakan insiden penangkapan dan pemeriksaan seorang WNI yang ditangkap disekitar KLCC karena tidak membawa tanda pengenal .  Ternyata hal itu tidak terjadi kepada saya.

Belum hilang dari ingatan ketika terjadi adu ketegangan masalah klaim budaya, lagu, tari-tarian dll. Bahkan ketika masyarakat sedang panas-panasnya men-sweeping warga Negara Malaysia sekitar 6 bulan lalu, saya malah mendapat perlakuan sebaliknya dari warga serumpun ini. Saya mendapat sambutan hangat disaat gedung kedutaan mereka dilempari telur busuk.  Tidak ada rona permusuhan di wajah mereka.

Bukan saya hendak membela negara jiran, tapi faktanya adalah memang kita adalah rakyat suatu negara yang jauh tertinggal dalam hal pembangunan secara fisik dan pembangunan mental masyarakatnya, jauuh…  ditinggalkan oleh tetangga dan teman-teman serumpun.

Bahkan saya agak malu ketika didalam suatu forum harian Straits Times ada yang nyeletuk,” Take it easy guys… kita kan masyarakat suatu bangsa yang sedang bergerak menuju peradaban berkelas, sementara mereka (kita-kita) sedang bergulat dengan kehidupan dunia ketiga”. Terkesan sombong sih, agak panas juga kuping kita membacanya (baca kok pake kuping). Tapi itu lah kenyataannya.

Sebagian besar masyarakat kita hidup jauh dibawah garis kemiskinan dengan segala duka nestapa, sebagian besar lain adalah bangsawan dan pesuruh rakyat (baca : aparat negara) yang berkolaborasi dengan taipan-taipan untuk mempertebal kantong dan mempertebal muka. Mempertebal juga kuping dan hati dari sindiran rakyat. Kalo dibahas kebobrokan mereka  tidak akan selesai dalam hitungan 65 tahun, hampir seumur republik ini.

Kalo tidak percaya baca aja komentar-komentar di forum-forum kita. Yang memberi komentar kampungan, yang dikomentari juga arogan. Setiap hari isinya hanya adu mulut dan caci-maki, fenomena yang tidak sehat dalam dunia maya dan nyata, akan tetapi sebagian orang bilang inilah demokrasi.

Kembali kepada kehidupan berbangsa dan bertetangga, harus diakui kalau saat ini kita tertinggal jauh dalam berbagai hal. Harus diterima dengan lapang dada. Mereka pun tidak malu mengakui dulu pernah berguru dari tanah Jawa.


(baca juga tulisan agak lama "Klaim Budaya Itu Sekali Lagi” oleh Radhar Panca Dahana, Sastrawan. Saya setuju banget )


No comments: