Saya sodorkan majalah Tempo edisi 20-26 Juni 2011 halaman 32 yang berjudul “Siami Bertahan di Kejujuran” kepada istri saya. Sedari kemarin sepertinya dia ikut-ikutan warga Gadel yang mengusir Siami dari rumahnya sendiri karena melaporkan guru dan wali kelas anaknya yang diduga membuat skenario contek menyontek dengan melibatkan anaknya Alif sebagai joki dalam ujian nasional SD bulan Mei kemarin.
Kamipun berdebat kusir. Saya dipihak Ibu Siami sementara istriku entah dipihak siapa, yang jelas bukan dipihak ibu “kejujuran” itu. Saya jelas-jelas menyalahkan guru dan wali kelas sekolah yang paling bertanggungjawab pada peristiwa itu. Setelah beradu argumen bla…bla…bla…belakangan istri saya menuduh sistem pendidikan nasional-lah yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Hal itu sering dan lumrah terjadi di berbagai daerah lain cuman tidak terekspos saja, begitu kilahnya. Saya percaya karena pasti sumber ceritanya berasal dari kakak-kakak dan ipar-iparnya yang kesemuanya adalah guru.
Kalau anda baca ceritanya tentu akan sependapat dengan saya bahwa gurunya lah yang paling bersalah dalam kekacauan ini. Pantaslah kalau mereka menerima sanksi dari walikota Surabaya dengan dicopot jabatan fungsionalnya, walaupun pekerjaan guru itu mulia kalau melanggar tetap harus dihukum. Saya memang nggak bersih-bersih amat sih selama mengenyam bangku sekolah, maksudnya contek-mencontek diantara teman juga tidak jarang terjadi. Tapi kalo cerita tentang mencontek masal yang di otaki oleh oknum guru ala SDN Gadel II ini sepertinya baru kali ini saya mendengarnya. Debat kami makin runcing…
Diakhir diskusi saya mengulang lagi tulisan dalam artikel majalah itu kalau guru tersebut sudah menghinakan dirinya sendiri dengan mencitrakan sekolah yang dipimpinnya supaya lulus ujian semuanya. Kejujuran sebagai salah satu saka guru keberadaban sudah hilang dan diperkosa oleh kepalsuan.
Istri saya membalas janganlah bersalah sangka dulu seperti kamu dulu mengira SBY adalah pemimpin yang berhasil. What's the connection, pikir saya. Tetapi kemudian saya nyambung, bahwasannya dulu saya sering membela kebijaksanaan-kebijaksanaan beliau tapi pada akhirnya sekarang sering mengkritik habis-habisan. Tetep gak nyambung ya?
Lama terpekur saya dalam semua kata-katanya kenapa kali ini istri saya tidak sepakat dengan saya mengenai amar ma'ruf nahi mungkar. Biasanya dia paling getol menyumpah serapahi oknum-oknum dengan profesi polisi, politisi, eksekutif, yudikatif yang melakukan KKN. Begitu tiba kejadian ini pada profesi guru mengapa lain cerita?
Saya ingat-ingat lagi ketika dia bercerita bahwa kejadian seperti ini jamak terjadi di daerah lain. Sudah biasa, banyak cerita, hampir banyak guru, saya mengingat-ingat lagi… ahaa! Eureka. Saya teringat seringkali dia bercerita bahwa ayahnya yang kebetulan juga mertua saya adalah kepala sekolah sekaligus guru seringkali membiarkan atau pura-pura tidak melihat saat anak didiknya lirak-lirik jawaban bangku sebelah saat ujian. Ya itulah jawabannya kenapa kami tidak sepaham. Saya menyalahkan oknum guru dan dia membela ayahnya. Padahal ayah dan kakakku adalah guru juga. Sayapun mesam-mesem sendiri.
Kliping :
Kompas, Ibu Siami, Si Jujur yang Malah Ajur
Tempo, Nasib Ibu Siami Jujur Malah Hancur
Kamipun berdebat kusir. Saya dipihak Ibu Siami sementara istriku entah dipihak siapa, yang jelas bukan dipihak ibu “kejujuran” itu. Saya jelas-jelas menyalahkan guru dan wali kelas sekolah yang paling bertanggungjawab pada peristiwa itu. Setelah beradu argumen bla…bla…bla…belakangan istri saya menuduh sistem pendidikan nasional-lah yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Hal itu sering dan lumrah terjadi di berbagai daerah lain cuman tidak terekspos saja, begitu kilahnya. Saya percaya karena pasti sumber ceritanya berasal dari kakak-kakak dan ipar-iparnya yang kesemuanya adalah guru.
Kalau anda baca ceritanya tentu akan sependapat dengan saya bahwa gurunya lah yang paling bersalah dalam kekacauan ini. Pantaslah kalau mereka menerima sanksi dari walikota Surabaya dengan dicopot jabatan fungsionalnya, walaupun pekerjaan guru itu mulia kalau melanggar tetap harus dihukum. Saya memang nggak bersih-bersih amat sih selama mengenyam bangku sekolah, maksudnya contek-mencontek diantara teman juga tidak jarang terjadi. Tapi kalo cerita tentang mencontek masal yang di otaki oleh oknum guru ala SDN Gadel II ini sepertinya baru kali ini saya mendengarnya. Debat kami makin runcing…
Diakhir diskusi saya mengulang lagi tulisan dalam artikel majalah itu kalau guru tersebut sudah menghinakan dirinya sendiri dengan mencitrakan sekolah yang dipimpinnya supaya lulus ujian semuanya. Kejujuran sebagai salah satu saka guru keberadaban sudah hilang dan diperkosa oleh kepalsuan.
Istri saya membalas janganlah bersalah sangka dulu seperti kamu dulu mengira SBY adalah pemimpin yang berhasil. What's the connection, pikir saya. Tetapi kemudian saya nyambung, bahwasannya dulu saya sering membela kebijaksanaan-kebijaksanaan beliau tapi pada akhirnya sekarang sering mengkritik habis-habisan. Tetep gak nyambung ya?
Lama terpekur saya dalam semua kata-katanya kenapa kali ini istri saya tidak sepakat dengan saya mengenai amar ma'ruf nahi mungkar. Biasanya dia paling getol menyumpah serapahi oknum-oknum dengan profesi polisi, politisi, eksekutif, yudikatif yang melakukan KKN. Begitu tiba kejadian ini pada profesi guru mengapa lain cerita?
Saya ingat-ingat lagi ketika dia bercerita bahwa kejadian seperti ini jamak terjadi di daerah lain. Sudah biasa, banyak cerita, hampir banyak guru, saya mengingat-ingat lagi… ahaa! Eureka. Saya teringat seringkali dia bercerita bahwa ayahnya yang kebetulan juga mertua saya adalah kepala sekolah sekaligus guru seringkali membiarkan atau pura-pura tidak melihat saat anak didiknya lirak-lirik jawaban bangku sebelah saat ujian. Ya itulah jawabannya kenapa kami tidak sepaham. Saya menyalahkan oknum guru dan dia membela ayahnya. Padahal ayah dan kakakku adalah guru juga. Sayapun mesam-mesem sendiri.
foto: SURYA/Faiq Nuraini
Kliping :
Kompas, Ibu Siami, Si Jujur yang Malah Ajur
Tempo, Nasib Ibu Siami Jujur Malah Hancur
No comments:
Post a Comment