Wednesday, February 24, 2010

Nggak Berbakti Kepada Orangtua, Waraskah Aku...?

Dalam perjalanan ke bandara Soekarno-Hatta sepuluh menit lagi kami akan tiba di terminal 2. Rencananya saya akan ke Bali dalam rangka menemani kedua orangtuaku yang ada sedikit urusan dan silahturahmi dengan kakak ibuku di pinggiran Denpasar. Kebetulan hari ini dan besok adalah jadwal liburku. Aku akan menginap dan membuat review tentang Tune Hotel, sebuah hotel yang menawarkan konsep low cost, memang hotel ini adalah hotel jaringan dari maskapai AirAsia. Semalam sudah browsing ke websitenya cuman nggak booking, go show aja sekalian ingin tahu pelayanannya, toh hari ini bukan musim liburan.

Tiba-tiba HP-ku berdering saya lihat dilayar panggilan dari kantor,  pasti hal penting pikirku.
Dari seberang telpon terdengar suara sekretaris kami,”Mas, lagi dimana? Kita mau minta tolong nih!”
Saya jawab, ada acara mau ngantar kedua ortu ke Bali. Telepon terputus.Kemudian berdering untuk yang kedua kalinya, berarti memang benar-benar penting sekali.
“Ndre... dimana? Kita butuh orang nih untuk perjalanan dinas karena sudah tidak ada lagi SDM yang sanggup,” kali ini suara laki-laki disana yang meminta tolong dengan sopan. Ya, atasan saya langsung. Diikuti dengan alasan kenapa harus saya yang statusnya lagi libur ini harus ketiban sampur. Di perusahaan kami, Day Off adalah hak yang mutlak tidak bisa diganggu gugat. Sebenarnya saya berhak untuk menolak segala macam penugasan dari perusahaan.

Pilihan yang sulit sekali. Disisi lain saya mau menolong orangtua sendiri dilain pihak tempat saya mencari makan membutuhkan saya. Terbayang olehku susahnya kedua ortu yang sudah manula (77 dan 64 thn) ini selama disana. Rencana awal mereka akan naik bis Damri ke terminal ubung untuk menuju kerumah kakak ibuku, lalu untuk urusan selanjutnya memakai angkot atau moda transportasi umum selama 2-3 hari disana. Sementara tas-tas mereka lumayan berat. Sebab itulah saya memutuskan ikut bersama mereka dan mengantar kemana urusannya dengan mobil sewa.

Teringat belasan tahun lalu ketika salah seorang paman memberi petuah dan bercerita bahwa orangtua kita adalah dua orang yang harus kita hormati dan diberikan prioritas dalam berbagai hal, terutama ibu. Kan diajarkan didalam agama bahwa orang nomer satu adalah Ibu, lalu ibu dan terakhir ibu lagi, baru kemudian ayah. Di telapak kakinya pun terdapat surga.
“Walaupun saya sudah siap dengan stelan jas dan dasi siap untuk pergi, tetapi apabila Ibu menyuruh saya untuk menyapu rumah sekalipun. Tanpa ba-bi-bu saya akan kerjakan perintah Ibu,” cerita sang paman.

Saya merubah arah mobil, menganalisa sejenak situasi yang tidak menguntungkan ini kemudian memutuskan. Saya akan jalani tugas dari kantor. Bukan karena akan dapat kompensasi lembur karena libur, bukan karena selama satu setengah bulan kemarin saya seolah-olah dirumahkan karena tidak ada penugasan sehingga kelamaan dirumah, bukan karena diminta atasan secara baik-baik demi kelangsungan perusahaan.
Banyak kolega jika berada diposisi saya seperti saat ini lalu jadi diatas angin seolah-olah menjadi karyawan pahlawan. Menjadi pamrih sudah memberi segalanya buat perusahaan. Kemudian bercerita kepada rekan-rekan yang lain tentang pengorbanan dan loyalitasnya.

Saya menjalani tugas karena kecintaanku terhadap pekerjaan dan salah satu bentuk ke-profesional-an. Masalah dapat rejeki lembur dan kondite baik ya Alhamdullilah. Tetapi apakah ini sebanding. Mendadak saya merasa menjadi anak yang tidak berbakti kepada kedua orangtuanya, sudah menyisihkan mereka.

Duabelas jam lebih selama dalam perjalanan dinas terus-menerus kepikiran tentang “kesalahan” yang telah aku perbuat terhadap orangtuaku.
Ingatanku kembali melayang duapuluh empat tahun silam saat duduk di bangku SMP, saya ingat betul Ibu Darsih –guru PMP kami- berkata tepat didepan muka saya saat mendapat hukuman karena melakukan kesalahan,”Kalau kepalamu kepikiran dan dadamu deg-degan saat usai melakukan kesalahan artinya kamu masih waras, mental kamu masih bisa dibenahi agar lurus” tegas Bu Darsih, salah satu guru dengan predikat galak disekolah kami.
Jantung saya malah deg-degan menanti hukuman apa yang kira-kira akan dijatuhkan saat saya ketahuan bolos keluar kelas saat jam pelajaran dimulai. Panas dingin keringat keluar macam butiran kelereng saat itu.

Ya sudah lah...beruntung  saya masih waras walaupun hari ini nggak berbakti kepada orangtua. Maafkan saya Ibu...Terimakasih Bu Darsih!