Belakangan ramai media mengulas rencana pemerintah lewat BI untuk menyederhanakan nominal uang kita yang terlalu banyak angka nol-nya tanpa mengurangi nilai mata uang itu sendiri, istilah kerennya “redenominasi”. Sebagai orang yang awam mengenai ekonomi, saya nggak akan membahas untung rugi atau hal-hal teknis berkenaan dengan istilah yang pengucapannya pun saya masih belepotan.
Tiba-tiba saja semua orang sekitar saya sudah menjadi pakar ekonomi menjelaskan kerugian-kerugian redomisilasol ini, tuuh kan belepotan. Ada yang bilang enak dong nanti koruptor cuman bawa hasil korupsinya dalam satu dompet aja yang seharusnya berkoper-koper. Yang lain bilang, sebaiknya pemerintah ngurusin hal-hal yang lebih penting, udah enak-enak kondisi ekonomi kayak sekarang. Nanti malah amburadul lagi, rakyat bisa rush, harga-harga tidak terkendali, chaos, kolapse, hiperinflasi waduhh…
Lagi-lagi banyak pihak dan masyarakat yang alergi pada suatu perubahan. Padahal saya melihat ada suatu niat baik dalam rencana ini.
Niat baik tidak selalu mendapat respon yang baik. Beberapa hari lalu saya baca tulisan Jaya Suprana mengenai hal good willing ini, dia mencontohkan ide menggratiskan listrik oleh Dahlan Iskan -direktur PLN- yang ditentang sekumpulan politik manusia, atau rencana pendidikan gratis di suatu kota di ujung Jawa Timur yang ditanggapi remeh oposisi lawan-lawan si Bupati, sementara ide Pak Jaya sendiri mengadakan pelayanan kesehatan gratis juga dianggap hal-hal yang nyleneh oleh beberapa pihak.
Alasan ketidak setujuan dengan niat-niat baik itu macam-macam, ada yang berpikir hal semacam itu tidak membuat masyarakat jadi tidak mandiri, manja, tidak mendidik dan sebagainya (ingat BLT?).
Kebanyakan manusia memang selalu resist dengan perubahan. Seorang teman blogger (Lukie) menulis, kecenderungan manusia untuk bersifat lembam, yaitu sifat benda untuk terus berada/mempertahankan kondisi terakhirnya. Menurut saya adalah benar adanya, khususnya di tatanan masyarakat kita. Mungkin hampir sama dengan keengganan saya untuk keluar dari “comfort zone”, padahal kata sebagian motivator hidup, hal ini sangat merugikan.
Kenapa kita selalu berprasangka buruk terhadap suatu rencana (baru rencana lho) yang baik? Karena mungkin pelaksanaan rencana tersebut banyak menyimpang dari niatan semula. Masih menurut Jaya Suprana, Misalnya: niat baik konversi minyak dan pengadaan tabung gas kecil 3kg yang lebih terjangkau malah jadi bencana ledakan, niat busway mengurangi macet malah jadi sumber macet. Akhirnya orang malah pesimis dengan semua rencana dan niat baik pemerintah. Baru diwacanakan sudah ditentang. Iya bener juga sih!!!
Trus bagaimana kita mau berubah kalau skeptis untuk menerima perubahan? Saya sendiri belum menemukan solusinya selain lagi-lagi dengan dua hal yang sangat berat untuk diaplikasi dalam kehidupan ini: Positive thinking dan ikhlas.