Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari jawaban pertanyaan ini. Setiap bulan Ramadhan saya mengalami menjalankan ibadah wajib sembari bertugas menerbangkan pesawat sipil komersial. Berbagai metode puasa ala terbang saya jalani, puasa 18 jam lebih (terbang dari timur ke barat, mengejar matahari) atau sebaliknya puasa hanya 10 jam.
Tadinya diawal-awal memasuki dunia penerbangan, saya selalu menjalankan ibadah shaum ini secara penuh walaupun saat dinas terbang. Bagi saya waktu itu, tidaklah gampang membatalkan puasa wajib ini selain syarat-syarat pengecualian yang tertera dalam ajaran agama. Kalau cuma berpuasa sambil terbang apa beratnya sih? Dulu saya malah bermain bola sambil berpuasa, kuat-kuat saja walaupun mencetak golnya nggak sebanyak kalau tidak berpuasa ^_^, kadang habis sahur bermain badminton atau bersepeda 20 km dari daerah Ketintang ke Kantor Pemerintahan kota Surabaya bolak-balik. Paling-paling habis itu tidur sampai lewat dhuhur.
Ternyata tubuh saya kuat melaksanakan puasa sambil terbang walaupun pada jam-jam tertentu saya mengalami kemunduran berkonsentrasi atau rasa kantuk yang hebat, biasanya jam-jam saat ashar.
Telah dijelaskan diberbagai tulisan bahwasannya puasa sedikit banyak mengurangi performa seseorang dalam hal konsentrasi, berpikir mengambil keputusan, penglihatan, menimbulkan rasa kantuk yang disebabkan karena berkurangnya asupan zat-zat makanan dalam tubuh (gula darah, protein, kalori, aliran darah pembawa oksigen dll). Sehingga tidak dipungkiri akan terjadi degradasi kemampuan buat seorang penerbang yang memerlukan konsentrasi ekstra pada fase-fase tertentu misalnya take off, descent, approach, landing, engine failure/kegagalan mesin atau kondisi-kondisi abnormal lainnya. Hal ini bisa terjadi sewaktu-waktu, kapan saja dalam setiap detik fase penerbangan. Sementara itu dalam tubuh kita masing-masing terdapat ritme naik turunnya performa, kadang diatas form beberapa saat kemudian akan jauh turun dibawah form.
Dengan kata lain berpuasa adalah salah satu hazard yang harus di-manage secara baik oleh penerbang.
Belakangan saya sadar bahwa saya adalah manusia lemah, suka bermain dengan ego, riya, dan suka berjudi. Kok berjudi? Padahal seumur-umur main pachinko aja gak pernah lho. Iya, berarti selama ini saya telah mempertaruhkan nyawa ratusan orang lain hanya demi mendapatkan pahala saya seorang diri. Bagaimana bila Allah memberi cobaan pada saya ketika melaksanakan tugas, seekor burung dimasukan ke mesin saat saya sedang menjalankan terbang dan berpuasa pada suatu sore, Naudzubillah…
Terima kasih ya Allah engkau tidak memberi cobaan itu dan telah mengingatkan pada kesombongan saya.
Kurang lebih sejak lima tahun lalu saya berpuasa dengan melihat situasi dan kondisi. Kalau cuman rutenya pendek lalu dijemput setelah sahur dan sholat subuh sehingga terbang dengan tubuh yang fresh. Kemudian pulangnya pas dhuhur, situasi seperti itu masih dalam batas kemampuan saya. Itupun semua dalam kondisi yang normal, pesawat bagus, cuaca cerah. Ada sedikit deviasi saja saya bisa membatalkan puasa, toh insya Allah saya akan membayar hutang setelah Ramadhan usai. Apalagi musafir kan gak wajib puasa. Saya menyebut posisi saya sebagai musafir terukur, karena ini adalah pekerjaan rutin tiap tahun dan saya bisa mengukur jarak dan waktu perjalanan. Baca juga Artikel Interaktif Quraish Shihab “Puasa Bagi Musafir” di note saya sebelum tulisan ini. "Puasa Bagi Musafir"
Menurut cerita seorang kolega senior, dalam salah satu diskusi-diskusi saya -puasa sambil terbang- didalam kokpit. Di Bangladesh ada suatu airline yang mengeluarkan anjuran yang unik yang berbunyi “Kalau sedang berpuasa janganlah terbang” himbauan pada penerbang secara halus , bukan sebaliknya “Kalau sedang bertugas (terbang) janganlah berpuasa” yang berasumsi melarang orang beribadah.
Sekarang setelah melewati puluhan diskusi dan bacaan mengenai isu ini, saya lebih sering tidak berpuasa selama bertugas menerbangkan pesawat. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada kaum muslim lain dan teman seprofesi yang menjalankan ibadah puasa, hanya semata-mata hanya karena faktor keselamatan penerbangan dan takut riya.
Lebih baik saya berdosa seorang diri daripada saya bertaruh pada keselamatan ratusan orang yang berada dalam tanggung jawab duniawi saya. Tuhan pasti paham. Ya Allah ampunilah hambamu ini, seorang manusia dengan penuh keterbatasan.
Catatan: Dari dulu saya ingin menulis hal ini, sampai dengan beberapa hari kemarin baca note yang ada di FBnya Mbak Tia Razak dengan judul serupa.
Beberapa teman saya tag di note ini untuk mewakili pendapatnya (kalau ada) dari kelompoknya masing-masing baik yang praktisi penerbangan maupun bukan, baik yang pernah belajar mengenai fiqih masalah ini ataupun tidak. Buat yang kebetulan baca walaupun tidak di-tag juga boleh lho memberi masukan, saya batasi maksimum tagging cuman 25 orang, anda boleh me-remove tagging kapan saja, Thanks!. Dari diskusi panjang di kokpit tentunya dengan kru penerbang dengan bermacam latar belakang tentulah ada pro dan kontra, menurut survey saya yang kurang sependapat dengan saya, sekitar 70-80 persen. Tulisan saya bukanlah untuk membuat suatu kesimpulan tentang isu ini, Saya tidak terpikir untuk membuat semacam fatwa bagi saya sendiri atau buat orang lain. Sekali lagi semuanya kembali kepada anda dengan limitasi dan kemampuan anda sendiri, You have to know your own limitation, that’s the best answer so far.
Mohon maaf bila ada rekan yang tidak sependapat dengan tulisan saya, karena ini hanya semata-mata pendapat pribadi saya saja.
Mungkin selain profesi penerbang ada lagi profesi yang tidak diwajibkan berpuasa karena mengandung hazard (bukan mudharat) bagi keselamatan orang lain, misalnya seorang yang berprofesi sebagai dokter yang sedang melakukan operasi vital yang memerlukan konsentrasi tinggi. Bagaimana pendapat rekan-rekan dokter?
Tulisan tambahan
Setelah bertahun-tahun akhirnya saya mendapat jawaban yang sepemikiran dengan pendapat pribadi saya ini, dari MUI.
Dikeluarkan sebagai salah satu dari 7 fatwa dalam Musyawarah Nasional MUI ke-8 di Hotel Twin Plaza, Jl S Parman, Jakarta Barat, Selasa (27/07/2010).
"Penerbang (pilot) diperbolehkan meninggalkan ibadah puasa Ramadan," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh. Meski begitu para pilot tidak bisa serta merta meninggalkan puasa. Bagi penerbang yang harus melakukan perjalanan secara terus menerus dapat mengganti puasanya dengan fidyah. Sedangkan yang statusnya temporal diwajibkan mengganti puasanya di hari lain.